Bersama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, mereka menjadi salah satu perempuan pertama yang masuk jajaran ketua bidang di PBNU sejak organisasi ini didirikan pada 1926 silam.
Alissa mengatakan masuk dalam jajaran tanfidzyah periode 2022-2027 merupakan sebuah amanah untuk memperbesar kontribusinya bagi NU dan umat Islam secara keseluruhan.
“Saya sendiri, saya yakin Bu Khofifah juga demikian, bagi kami ini amanah, bukan hanya diri kami sendiri tetapi karena ini adalah gerbang untuk para perempuan Nahdlatul Ulama memperbesar hikmahnya bagi NU, bagi umat Islam, bagi bangsa dan negara dan bangsa, bagi peradaban dunia,” kata Alissa di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (12/1).
Inisiator Jaringan Gusdurian itu mengatakan yang dilakukan PBNU saat ini memasukkan unsur perempuan dalam jajaran tanfidzyah sebagai terobosan. Menurutnya sejak awal NU berdiri hingga kini pun ruang perempuan untuk berkontribusi di dalamnya juga telah dibuka sangat besar. Oleh karena itu, Alissa mengatakan saat ini adalah waktu yang tepat bagi kaum perempuan untuk andil besar dalam kepengurusan NU.
“Jadi hanya soal waktu. Dan waktunya dipilih saat ini,” kata putri sulung Gus Dur tersebut.
Tak hanya Alissa, Ibunya atau Shita Nuriyah Wahid juga tergabung dalam kepengurusan PBNU di bahwa kepemimpinan Yahya Staquf.
Shinta menjabat sebagai Mustasyar PBNU. Pada periode PBNU 2015-2021, Shinta Nuriyah sempat menempati posisi sebagai A’wan. Sebagai informasi, A’wan adalah bagian dari syuriah yang bertugas membantu tugas rais amm, yang terdiri atas sejumlah ulama terpandang. Sementara mustasyar adalah dewan penasihat syuriah yang terdiri atas ulama sepuh NU.
Sementara itu, Khofifah yang juga menjabat sebagai Ketua PBNU mengatakan rencananya untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) di NU, khususnya kaum perempuan. Tujuan itu dibentuk seiring dengan usia NU yang akan menginjak 1 abad di 2026 mendatang.
“Ini menjadi bagian yang serius bagi kita semua untuk bisa seiring dengan upaya memajukan bangsa, apalagi menuju 1 abad Nahdlatul Ulama,” kata dia yang sebelumnya dikenal pula sebagai Ketua Muslimat–badan otonom NU untuk perempuan.
Khofifah menilai warga NU yang paling istiqomah untuk mengikuti pelbagai kegiatan organisasi itu didominasi kaum perempuan.
Oleh karena itu, mantan mensos itu mengatakan saat ini ada kebutuhan meningkatkan indeks pembangunan manusia perempuan NU, khususnya pada posisi pendidikan, kesehatannya, dan pendapatannya.
“Jadi kalau misalnya pangapunten, seluruh jajaran PBNU, misalnya ada 10 ibu di Jawa Timur naik mobil mungkin di antaranya 7 di antaranya adalah warga muslimat. Dari 7 warga yang berorganisasi langsung maupun tidak, sangat mungkin lima di antaranya masuk di kategori kurang mampu,” kata Khofifah.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menyatakan saat ini adalah kali pertamanya sejak berdiri pada 1926 silam, Nahdlatul Ulama memiliki pengurus dari kalangan perempuan. Ia mengatakan sebetulnya perempuan memiliki kapasitas untuk masuk struktur PBNU karena memang tak ada pembatasan, dan apa yang terjadi saat ini hanyalah soal waktu.
“Sejak awal didirikan sebenarnya tidak ada pembatasan di PBNU. Sekarang tokoh perempuan dimasukkan karena memang ada kebutuhan yang mendesak,” kata Yahya.
“Sebelumnya tidak ada larangan juga pengurus perempuan dalam NU,” imbuh mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.